Maya Hasan: Berkarya dengan Cinta (Feature)
Ternyata jatuh cinta pada pandangan
pertama bukan merupakan suatu omongan belaka. Bagi Maya Hasan, harpist
profesional Indonesia kelahiran Hongkong ini, cinta pada pandangan pertamanya
dimulai sejak kelas 1 SMP kepada gambar harpa di dinding tempat les musiknya.
Maya kecil tidak pernah tahu bahwa dengan gambar harpa di dinding itu, dengan
rasa penasarannya kepada alat musik petik tersebut, akan merubah dunia, cinta,
dan segala hal di hidupnya.
Sebenarnya sebelum mengenal harpa, Maya
kecil sudah mengisi hari – harinya dengan musik. Didukung oleh keluarga yang
juga memiliki minat yang sama, terutama kakaknya Iwan yang terpaut umur lima
tahun dari dirinya, membuat Maya mulai mencoba – coba berbagai instrumen musik.
Kecintaan dan kepekaan terhadap musik itu tumbuh sejak Sekolah Dasar. Instrumen
musik yang dia kenal pertama kali adalah piano, namun hari – harinya bersama
piano hanya berlangsung tiga bulan. Kemudian Maya Hasan juga mencoba memainkan
biola. Permainan biolanya itu bahkan membuat Maya bergabung dalam Orkes Remaja
Bina Musika yang saat itu merupakan orkes remaja pertama di Indonesia. Akan
tetapi, semesta sepertinya belum memberikan jawaban kepada dirinya sehingga
akhirnya Maya juga berhenti bermain biola dan mencoba alat musik flute. “Bukan
berarti biolanya yang salah, Mayanya yang salah, Mayanya aja yang gak cocok
sama itu,” begitu tuturnya setiap kali orang lain mengajukan pertanyaan mengapa
Maya berhenti bermain piano dan biola.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah:
Mengapa? Mengapa Maya Hasan berhenti bermain piano dan biola?
Baginya, hubungan manusia dengan alat
musik adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Ada paradigma tersendiri yang
dipercayai oleh seorang Maya Hasan bahwa alat musik dan seseorang harus
memiliki kecocokan dan hal itulah yang menjadi alasan bagi Maya untuk berhenti
bermain piano dan biola.
Bergerak
ke jenjang yang lebih tinggi tepatnya ketika kelas 1 SMP, ada takdir yang
bermain peran dalam kehidupan Maya Hasan. Hari itu di tempat les musiknya, Maya
melihat berbagai gambar alat musik di dinding. Ada satu gambar yang menarik
perhatiannya, membuat rasa penasaran meledak dalam hatinya. Ketika bertanya
kepada gurunya, Maya baru tahu bahwa alat musik itu bernama harpa. Tanpa pikir
panjang, Maya ingin sekali belajar alat musik itu. Saat itu salah satu harpist
profesional di Indonesia adalah Heidi Awuy. Maya memutuskan untuk belajar
darinya. Tepatnya kelas 3 SMP ketika semua persiapan les sudah siap, Maya belajar
harpa dengan keempat jemarinya. Sejak itu, Maya tahu bahwa harpa adalah jawaban
dari hubungan kecocokan yang selama ini dia cari.
Menjadi Harpist
Profesional
Maya Hasan melanjutkan kuliahnya di
Willamette University, Oregon, Amerika Serikat dan mengambil jurusan Harp Performance.
Alasannya memilih universitas itu sebenarnya sangat sederhana. Maya kecil dulu
pernah ingin menjadi pengacara, tetapi karena kedua orangtuanya menyuruhnya
kuliah di Belanda, Maya Hasan mengurungkan niatnya. Tidak hanya ingin menjadi
pengacara saja, Maya Hasan pernah ingin menjadi pramugari, namun ketika
mendengar bahwa seorang pramugari harus menyelamatkan penumpang jika terjadi
kecelakaan, Maya kembali memutuskan impiannya itu. Akhirnya dia memilih kuliah
di Willamette University.
Ternyata, kuliah di luar negeri membuat
Maya Hasan kerepotan, baik dari segi bahasa maupun sekolah musiknya. Sekolah
musik bukanlah seperti apa yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Maya harus
berjuang setiap hari dengan kemampuannya bermain harpa yang baru beberapa tahun
dibandingkan orang – orang lain yang sudah menggeluti permainan harpa lebih lama.
Maya Hasan harus berlatih enam sampai sembilan jam setiap harinya.
“I have to prove myself!” Kata – kata
itulah yang selalu Maya Hasan pegang selama berkuliah di Amerika. Motto itu
yang membawa Maya bisa mendapat 3 beasiswa di Willamette University. Berkat ketekunan,
kerja keras, dan passion, Maya berhasil lulus hanya dalam waktu tiga tahun.
Kembali ke Jakarta pada tahun 1993, Maya
Hasan merasakan keprihatinan yang sangat besar terhadap pengetahuan masyarakat
Indonesia mengenai harpa yang adalah nol besar. Maka dari itu, dia ingin
meningkatkan perhatian masyarakat mengenai alat musik harpa. Saat itu, dia
berkeliling dari satu stasiun radio ke stasiun radio lainnya untuk memberikan
demo musik harpa hanya agar lagu – lagu permainan harpa bisa didengar oleh
khayalak.
Kemudian Maya Hasan juga memperkenalkan
permainannya dengan cara memasuki berbagai orkestra yang ada di Indonesia.
Hampir semua orkestra di Indonesia memberikan tempat yang spesial bagi Maya
Hasan. Sebut saja Nusantara Chamber Orchestra, Twilite Orchestra, Malaysia
Philharmonic Orchestra, Surabaya Symphony Orchestra, Erwin Gutawa Orchstra, dan
The World Harp Ensemble. Bahkan sejak 2005, Maya Hasan merupakan penampil tetap
dalam Java Jazz Festival.
Dibalik semua keberhasilan itu, Maya
Hasan mengakui bahwa pencapaian terbesar dalam hidupnya bukanlah sesuatu yang
muluk – muluk, yaitu ketika harpa, pekerjaannya, dan perannya sebagai ibu rumah
tangga dia jalani secara seimbang. Bagi Maya Hasan ketika semuanya terbagi sama
rata, itu sudah lebih dari cukup, sudah lebih dari semua penghargaan yang dia
terima.
Pada Akhirnya Semua Hanya Musik
Dalam
kehidupan Maya Hasan sebagai harpist profesional, tidak semua peristiwa yang
sudah dia alami bahagia – bahagia saja, ada juga kejadian yang tidak
menyenangkan baginya. Maya pernah featuring solis dalam konser di Kuala Lumpur.
Konser yang diadakan di Concert Hall, Istana Budaya itu Maya lakukan tanpa
sound system dan diiringi dengan orkestra. Hal tersebut membuat Maya Hasan
harus berlatih keras agar petikan harpanya kuat dan bisa terdengar oleh
penonton. Pada saat Gladi Resik terdengar suara meleleh dari senar harpa.
Ternyata ketika selesai bermain, jari – jarinya Maya Hasan berdarah.
Sepulangnya
dari konser di Malaysia, Maya Hasan tergabung di dalam Konser Kla 4 Musim di
Jakarta Convention Center, tepatnya di Plenary Hall. Konsep dalam konser Kla 4
Musim itu adalah Maya Hasan akan berada di panggung putar bersama dengan
harpanya dan awalnya membelakangi penonton, baru kemudian panggung tersebut
akan diputar dan menampilkan Maya Hasan yang sedang bermain harpa. Namun
panggung berputar itu bukan menggunakan mesin melainkan tenaga manusia yakni stage crew yang memutar panggungnya.
Ternyata saat diputar, kabel yang menghubungkan harpa dengan sound system tercabut. Alhasil, suara
Harpa yang dimainkan oleh Maya sama sekali tidak terdengar tertutup suara
instrumen musik yang lain. Saat itu, Maya Hasan bersyukur karena dengan konser
di Kuala Lumpur, dia sudah berlatih keras sehingga tenaganya dalam memetik
senar harpa masih kuat. Maya Hasan akhirnya harus bermain empat kali lagu yang sama
agar bisa didengar oleh penonton. Selesai bermain, dengan bersimbah keringat
dan kelelahan, Maya tetap bahagia.
Itu
semua dia lakukan karena Maya pernah membaca sebuah buku dan kalimat pertama
dalam buku itu adalah “At the end is only music.” Prinsip itu yang selalu Maya
Hasan percayai dan pegang selalu. Semua orang menciptakan musik dengan cara
yang berbeda – beda, tapi yang terpenting adalah bermain dengan rasa dan hati
agar musik tersebut bisa diterima oleh penonton. Kalimat tersebut yang membuat Maya
tetap bermain walau jarinya berdarah dan lelah sekalipun.
Mengajar Lewat Indonesian Harp Academy
“Maya
Hasan adalah seseorang yang melakukan semuanya dengan passion,” kata Maya Hasan
saat ditanya mengenai siapa dirinya.
Seorang Maya Hasan adalah pribadi yang benar – benar melakukan semua
yang dia kerjakan dengan hatinya, dengan sungguh – sunggu. Sesusah apapun itu,
seberat apapun hal yang dia hadapi, Maya Hasan tetap berusaha dengan semaksimal
mungkin. Hal ini dia tunjukkan bukan hanya lewat kesungguhannya dalam
pendidikannya sendiri, tapi juga dalam mendidik orang lain.
1993,
ketika Maya Hasan kembali ke Jakarta setelah menyelesaikannya pendidikan di
Oregon, dia merasakan keprihatinan yang sangat besar terhadap pengetahuan
masyarakat Indonesia yang sangat minim mengenai harpa. Maka dengan kecintaanya
terhadap harpa, Maya membuat music school.
Music
School yang didirikannya itu bernama Indonesian Harp Academy. Walaupun
sebenarnya Maya Hasan sudah mengajar harpa sejak 1997, namun Indonesia Harp
Academy merupakan music school resminya, namun masih merupakan embrionya.
Indonesian Harp Academy masih berada di rumah Maya Hasan sendiri yaitu di Jalan
Sekolah Duta V No. 9, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Murid
Maya Hasan sendiri berjumlah belasan dan berumur 5 sampai 60 tahun. Maka,
Indonesian Harp Academy bukan hanya memperkenalkan musik formal saja, melainkan
juga pelajaran non formal.
Jadi
siswa – siswi yang belajar di Indonesian Harp Academy bukan hanya les musik, tapi
juga belajar harpa untuk pelayanan di gereja, untuk relaksasi, kesenangan, dan
yang unik untuk kesembuhan. Maya Hasan juga mengajar di Indonesian Harp Academy
untuk memperkenalkan Music For Healing.
Di Balik Penampilan
Harpa, Ada Music For Healing
Satu hal yang unik dari Maya Hasan
adalah dia bukan hanya sekedar harpist profesional yang perform di okerstra ke
orkestra, bukan hanya harpist profesional yang begitu – begitu saja. Maya Hasan
jauh dari kata ‘biasa – biasa saja’. Dia mengabdikan hidupnya bukan hanya
menampilkan performance keindahan suara harpa, tapi dia memakainya untuk
menyembuhkan orang lain. Menurut Maya Hasan, suara harpa adalah salah satu
suara paling sempurna. Dalam pelajaran Fisika, suara harpa merupakan gelombang
suara yang sempurna. Kemudian dengan pengetahuan itu, Maya Hasan menyadari
bahwa musik bisa digunakan untuk menyembuhkan. Dia memutuskan untuk belajar
mengenai Music For Healing ini. Mulai dari les, courses, workshop, bahkan di tahun 2011 Maya Hasan mengambil kuliah
mengenai Music For Healing.
Jadi
saat ini Maya Hasan juga melakukan terapi harpa. “Jadi aku kayak dokter. Jadi
aku menganalisa orang ini kurang frekuensinya apa, kemudian diberikan frekuensi
itu.” Ketika seseorang mengalami sakit, Maya akan menganalisis, orang tersebut
kekurangan frekuensi apa. Baru kemudian Maya akan memainkan harpanya dan
memberikan frekuensi yang dibutuhkan oleh orang tersebut.
Sebenarnya
berbagai penyakit punya kesempatan untuk disembuhkan. Mulai dari sakit kepala,
pilek, migrain, sakit otot, bahkan kanker sekalipun. Maya bercerita waktu itu
pasiennya ada yang tidak bisa berlutut karena masalah otot di kakinya. Setelah
diterapi oleh Maya, pasien tersebut bisa berlutut dan sholat. Ada cerita juga
mengenai salah satu pasiennya yang syaraf di tangannya bermasalah sehingga
mengalami tremor terus menerus, setelah diberi frekuensi yang cocok, tangan
pasien itu tidak tremor lagi.
Hal
inilah yang membuat Maya Hasan berbeda dengan pemusik – pemusik lainnya. Dia
mengeksplor talenta yang sudah dia miliki. Bukan hanya sekedar untuk tampil
saja, melainkan memanfaatkan kemampuannya ini untuk membantu orang lain.
Maya
Hasan hanya punya satu pesan kepada semua orang, “Always do everything with
your heart.” Hal itu yang selalu Maya Hasan lakukan sejak kecil. Mulai dari dia
berhenti bermain piano dan biola karena merasa kedua instrumen itu tidak cocok
dengan hatinya, ketika kuliah di Amerika hingga sampai mendapat tiga beasiswa,
sampai membuka sekolah musik dan berprinsip untuk menyembuhkan orang lewat
talentanya. Semua itu dia lakukan dengan hatinya dan hal itulah satu – satunya
alasan yang membuat dia sukses menjadi guru, dokter, ibu bagi ketiga anaknya,
dan harpist profesional.
Comments
Post a Comment