Independensi VS Iklan (Opini)
Tentang Batas yang Kabur antara Berita dengan Iklan
Ketika berbicara mengenai hubungan antara media dengan iklan tentu tidak akan ada habisnya. Keduanya berhubungan secara mutualisme karena media butuh iklan agar tetap bernafas dan iklan membutuhkan ruang untuk menjalankan fungsinya. Akan tetapi dengan hubungan ini, seringkali ada harga mahal yang harus dibayar, bahkan melebihi biaya iklan tersebut, yaitu independensi jurnalis.
“KINI SEBUAH KOTA MASA DEPAN IDEAL IMPIAN ANDA, BUKAN LAGI SEKEDAR MIMPI” menghiasi header halaman utama kumparan.com disertasi dengan logo Meikarta di sebelah kanan. Proyek pembangunan besar-besaran ini menjalankan pemasarannya dengan masif dan totalitas. Tidak hanya di kumparan.com, ketika membuka homepage detik.com pembaca dihadapkan dengan tampilan gambar yang sama persis: tulisan tersebut, logo Meikarta, dengan background gedung-gedung pencakar langit dihiasi bintang-bintang. Tanpa perlu melihat sepetinya kita semua juga sudah mengetahui bagaimana luar biasanya iklan Meikarta di media grup Lippo seperti beritasatu.com atau berita satu TV. Iklan Meikarta ini benar-benar menguasai halaman media cetak, majalah, TV, media daring, bahkan iklan audio di radio.
Iklan-iklan ini ternyata menjadi senjata makan tuan bagi media-media yang dijadikan platform pengiklan. Dilansir dari artikel remotivi.com (remotivi.com, 2017), ada dua media yang dijadikan patokan dan dianggap cukup kredibel yaitu Kompas.com dan Tempo.co. Namun nama besar kedua media ini bahkan tidak bisa menjadi jaminan bahwa kerja jurnalistik dilaksanakan dengan baik. Selama periode penayangan iklan tersebut, Remotivi.com melihat bahwa mayoritas berita di kedua media ini bernada positif mengenai Meikarta. Di Tempo.co judul-judul beritanya seperti ini: “Lippo Dinilai Mumpuni Membangun Kota Mandiri Meikarta”, “Bantu Pemerintah, Meikarta Sediakan Hunian Terjangkau”. Di Kompas.com pun juga demikian: “Pemda Bekasi: Meikarta Bisa Dongkrak Perekonomian Bekasi”, “Pendorong Ekonomi Nasional Itu Bernama Meikarta”, dan “Harga Bersahabat, Peminat Meikarta Membludak”. Satu hal yang membedakan kedua media ini adalah kesadaran Kompas.com untuk tetap memberi label advetorial sehingga tetap ada penanda yang menunjukkan bahwa sebenarnya artikel tersebut bukan hanya berita, melainkan juga merangkap menjadi iklan.
Di sinilah kita bisa melihat ketika media jatuh ke lubang iklan. Mengapa hal ini bisa terjadi padahal seperti yang kita sama-sama tahu Kompas dan Tempo adalah dua media yang bisa kita sebut kredibel dan bisa dipercaya? Maka dari itulah ada harga mahal yang haru dibayar dalam hubungan antara iklan dengan redaksi jika tidak diatur sedemikian rupa. Padahal menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam buku “Pedoman Perilaku Jurnalis” (2014, p. 5), jurnalis harus menghindari pengaruh marketing / iklan dalam menentukan topik, angle, narasumber, dan isi berita. Sudah jelas terlihat bahwa pemilihan berita yang dinaikkan dipengaruhi oleh iklan Meikarta sehingga membuat Kompas dan Tempo harus menomorduakan kredibilitas dan independensi redaksi demi kepentingan iklan.
Ada beberapa hal yang bisa kita analisis terkait kasus ini dengan melihat dari kode etik jurnalistik dan elemen jurnalisme. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), loyalitas utama wartawan pada masyarakat, maka wartawan harus mengabarkan apa yang menjadi hak masyarakat bukan meliput untuk kepentingan perusahaannya, pihak-pihak tertentu, dan bahkan pengiklan sekalipun. Dalam kasus Meikarta ini, kita bisa melihat bahwa akhirnya media yang kredibel sekalipun saja bisa jatuh dalam kesalahan terkait loyalitas. Dari judul-judul artikel itu saja kita bisa melihat bahwa loyalitas media Kompas dan Tempo ada pada pengiklannya yaitu Meikarta.
Elemen jurnalisme yang keempat (Kovach&Rosenstiel, 2001, p. 123) juga menyebutkan bahwa wartawan harus independen yang berarti mereka harus menulis yang baik maupun buruk tentang seseorang atau pihak tertentu selama itu sesuai dengan fakta. Meikarta seperti yang kita tahu ternyata memiliki polemik dengan masalah perizinan, namun media-media (terutama yang menjadi tempat Meikarta menaruh iklan) berusaha untuk menulis dari ssudut pandang lain yang notabene lebih pro pada Meikarta atau bahkantidak memberitakan masalah tersebut sama sekali. Berita dengan nada positif yang secara tidak langsung mendukung Meikarta malah diangkat. Maka dari itulah hubungan antara iklan dan media ini ternyata bisa menjadi racun yang mematikan bagi independesi seorang wartawan.
Hukum tertinggi dalam dunia jurnalistik yaitu kode etik jurnalistik juga membahas mengenai hal ini. Pasal satu dalam kode etik ini mungkin juga menjadi hukum yang terpenting yaitu wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Wartawan tidak bisa disebut sebagai wartawan ketika ia tidak menunjukkan sikap independensi. Dilansir dari tirto.id (2016), independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Pada akhirnya semua ini hanyalah sekedar teori belaka ketika disandingkan dengan kenyataan bahwa media sekelas Kompas dan Tempo sekalipun menulis tanpa mengikuti suara hati melainkan terpaksa tunduk di bawah kaki iklan.
Kemudian apa cara yang bisa kita lakukan terkait masalah ini? Seperti yang sudah disebutkan dalam artikel remotivi.com, Kompas tetap menaruh label advetorial di artikel Meikarta. Penanda ini biasa disebut pagar api atau fire wall.
Pagar api seperti yang ditayangkan dalam kanal youtube Remotivi adalah prinsip dalam jurnalisme yang mewajibkan media untuk memberikan batas yang tegas antara berita dengan iklan. Maka dari itu secara teoritis perusahaan media yang sehat akan membedakan antara redaksi berita dengan iklan agar kerja jurnalistik tidak tercemar motif untuk beriklan. Biasanya perusahaan media memberikan garis tipis atau lay out yang berbeda antara berita dan iklan. Pagar api berguna untuk memberitahukan kepada masyarakat mana yang berita dan mana yang iklan agar masyarakat tidak terkecoh menganggap berita sebagai iklan atau iklan sebagai berita. Bill Kovach mengatakan bahwa garis api adalah sesuatu yang wajib hukumnya dan tidak perlu dipertanyakan lagi (pantau.or.id, 2014). Harold Ross, redaktur majalah The New Yorker bahkan tidak mengajurkan wartawan yang menulis berita sering mengobrol dengan bagian pemasaran karena akan memengaruhi pola pikir wartawan terhadap suatu hal.
Mengapa masyarakat perlu mengetahuinya? Karena pengaburan pagar api ini adalah pelanggaran yang membuat publik dapat mengira iklan sebagai berita dan jika hal ini terus menerus terjadi maka kepercayaan publik terhadap media akan menurun.
Pagar api ini menjadi prinsip utama yang harus dipegang erat-erat oleh jurnalis agar bisa bekerja secara profesional menjalani kewajibannya. Pagar api ini akan membantu wartawan agar tetap independen dalam menjalankan kerja jurnalistiknya. Dengan prinsip ini wartawan akan tetap mampu membedakan mana yang iklan dan berita agar tetap mampu memberikan yang terbaik bagi publik.
Seperti halnya yang Kompas.com lakukan, mereka tetap memberikan label advetorial sehingga setidaknya masyarakat bisa membedakan jika tulisan yang dimuat adalah iklan Meikarta dan tidak mengecoh publik menganggapnya sebagai berita. Dengan prinsip pagar api ini jurnalis tetap bisa menyenangkan hati pengiklan namun tetap tidak mengorbankan independensi.
Pada dasarnya media memang tidak bisa hidup tanpa suntikan dana dari iklan, namun tetap ada prinsip-prinsip utama yang tidak bisa ditawar-tawar terutama mengenai independensi wartawan dalam membuat berita tanpa paksaan untuk menyenangkan pengiklan. Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah pada kenyataanya media bisa disiplin dalam hal penggunaan garis api sehingga bisa meminimalisasi hubungan beracun antara iklan dengan media?
Daftar Pustaka
Kovach, Bill & Tom Rosentiel. (2001). Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau.
Tim AJI Jakarta. (2014). Pedoman Perilaku Jurnalis. Jakarta: Yayasan TIFA
Remotivi. (2015, October 12). Pagar Api [Video File]. Diambil pada 15 Desember 2018, dari
Remotivi.com. (2017). “Habis Iklan Meikarta, Gelaplah Berita”. Dialnsir pada 13 Desember 2018, dari
Tirto.id. (2016). “Kode Etik Jurnalistik”. Dilansir pada 13 Desember 2018, dari
Pantau.id. Admin. (2016). “Pagar Api”. Dilansir pada 13 Desember 2018, dari
Comments
Post a Comment