Andaikan Pertamina Masih Membiayai Rio Haryanto (Opini)
Di suatu siang, Rio Haryanto
berjalan membusungkan dadanya.
Tangan kanannya memegang helm warna kuning sembari dia menuju
ke arah mobil balap nomor
88 yang sebentar akan dinaikinya untuk membuktikan diri. Berjalan dengan bangga
di sirkuit Melbourne Grand Prix, Albert Park untuk berlomba pertama kalinya di
ajang Formula One mewakili merah putih. 23 tahun hidupnya
dipertaruhkan mulai 20 Maret 2016 itu untuk keluar memperlihatkan dirinya,
seorang Rio Haryanto, dengan kebanggan penuh.
***
Namun itu dulu. Saat
semuanya baik- baik
saja bagi Rio Haryanto. Saat keinginannya bisa direalisasikan dan ketika dia
bisa melakukan olahraga yang dia cintai. Itu terjadi belum terlalu lama, baru 2 tahun.
Sekarang nama Rio Haryanto hanyalah sejarah singkat yang yang pernah menggemparkan ajang Formula
1 mewakili Indonesia.
Saat ini Rio menjadi seorang CEO, jabatan yang berbanding terbalik dengan keinginannya
untuk melaju cepat di dalam mobil. Dia kembali ke kota kelahirannya, berusaha
melanjutkan hidupnya dan meyakinkan diri bahwa hidupnya baik baik saja. Akan
tetapi, keinginan Rio untuk
tetap bisa melakukan ajang jet darat ini tetap ada dalam batinnya. Dia ingin
kembali dan merakan sensasi kecepatan itu. Seolah seluruh dunia berada jauh di
belakangnya.
Dan Rio membatin, andaikan saat itu
Pertamina masih mau membiayai dirinya dan menjadi sponsor baginya untuk tetap
melanjutkan karirnya. Apakah hidupnya bisa berubah?
Mungkin bisa saja berubah
karena Rio adalah pembalap spesial yang sudah meniti karirnya sejak masih
belia.
***
Rio Haryanto memulai
semuanya saat masih berusia belasan tahun. Kecintaannya terhadap dunia balap
mendarah daging dan menjadi paradigma tunggal dalam pikirannya. Tidak hanya
ingin menjadi mimpi, Rio berusaha keras dan bahkan lebih keras dari yang dia
mampu. Perlahan dia mulai menjajal dunia balap. Mengikuti ajang demi ajang
untuk sampai di ajang tertinggi dan paling prestise, Formula One. Saat masih di GP2,
Rio mendapatan sorotan dari perusahaan Pertamina.
Pertamina melihat adanya kemungkinan untuk memoles Rio menjadi permata yang
berharga.
Mendaki puncak
tertinggi digantungkan Rio 5 cm di depan kepalanya agar dia tetap bisa naik
setingkat demi setingkat. Butuh 17 tahun baginya untuk membawa bendera merah
putih juga ikut berkibar
di perlombaan mobil balap paling apik di dunia. Dan untuk sampai disini, butuh usaha lebih dari sekedar
membalikkan telapak tangan. Latihan demi latihan, baik fisik dan mental dilakukan oleh anak
bungsu dari pasangan Sinyo Haryanto – Indah Pennywati ini. Dari kecil kedua
orangtuanya sudah mendukung Rio untuk menggantungkan cita – citanya setinggi
langit karena jika terjatuh pun, Rio akan jatuh di antara bintang – bintang.
Jika ditanya siapa sosok
yang membuat Rio ingin mempertaruhkan hidup dan matinya di dunia balapan,
jawabannya adalah Michael Schumacher. Berkat idolanya ini, Rio sudah menjajal
arena di usia yang terbilang masih sangat muda yaitu 6 tahun. Dengan telaten,
Rio mencoba sirkuit demi sirkuit walaupun sempat mengalami kecelakaan, Rio
tidak patah arang. Mental baja inilah yang membuatnya rela kehilangan masa
remajanya demi satu tujuan: Formula One. Dan dari sebuah mimpi akhirnya menjadi kenyataan bagi
Rio di tahun 2016. Dia berhasil menjadi satu – satunya pembalap dari Asia di
perlombaan ini. Hal ini tentu
menjadi kegemparan tidak hanya di Indonesia saja melainkan di dunia. Rio
Haryanto tergabung ke dalam Manor Racing ini bahkan masuk ke Trend Topic
Worldwide. Hal ini berlanjut juga ketika Rio akan melakukan balapan pertamanya.
Dukungan berupa #RioAusGP2016 dari masyarakat Indonesia akhirnya tembus jadi
trending di media sosial. Bagaimana tidak? Semua orang ikut bangga dengan Rio
kala itu.
Saat itu Rio
teringat betapa bangganya dia ketika setiap ia ingin melanjutkan GP demi GP,
selalu ada support untuknya bahkan ketika ia beribu – ribu kilometer dari bumi
pertiwi. Kementrian Luar Negeri saat itu membuat program khusus lewat Kedutaan
Besar RI di Bahrain untuk menyambut Rio di Bandara. Hal ini juga terjadi di
Bandar Udara Frankfurt di Jerman dan juga Perancis. Segelintir warga negara
Indonesia itu memeriahkan sudut kecil di setiap bandara degan senyum dan dukungan
untuk Rio yang datang bertubi – tubi lewat spanduk dukungan, poster, kaos
sebagai atribut yang menandakan dukungan bagi pembalap ini, kalung bunga, dan bahkan
bendera kebanggaan merah putih. Satu hal yang pasti, di setiap negara yang Rio
datangi, warga negara Indonesia dengan bangga mendukung dan memberi kehangatan
bagi Rio untuk siap berlaga.
Namun mimpi akhirnya tetap menjadi mimpi bagi
Rio ketika kesempatan itu harus
dilepas karena masalah finansial.
Dia tidak bisa
lagi menjadi bagian dari Manor Racing karena masalah uang. Semua usaha, kerja keras,
keringat darahnya harus terhenti hanya karena terikat pada Rp 225 miliar yang menghentikan langkah
Rio hanya dalam 12 Grand Prix di
F1. Hanya 12 Grand Prix dibandingkan dengan 17
tahun hidupnya yang dia habiskan dengan sia – sia. Bukan karena kesalahan atau
ketidak mampuannya dalam dirinya,
melainkan karena faktor eksternal yang tidak mengizinkannya. Hati pembalap asal Indonesia ini hancur mendengar kabar
itu.
Rio berpikir
selalu ada jalan keluar untuk semua masalah dan masih ada satu harapan lagi. Satu kesempatan
yang mungkin akan merubah hidupnya 180 derajat dan harapan itu bergantung pada
Pertamina. Pertamina sudah memberi suntikan dana yang begitu banyak bagi karir
Rio Haryanto, tapi kala itu hati
Pertamina mengeras dan tidak menuruti permintaan Rio. Mereka memutuskan
menyetop sponsor
bagi Rio Haryanto untuk berlaga di Formula One. Sekarang, harapan Rio benar –
benar berakhir. Mimpi yang sempat menjadi kenyataan itu akhirnya hanya menjadi sepenggal cerita pahit bagi Rio.
***
Rio duduk di kantor
ayahnya, membantu menjalankan perusahaan. Dalam lamunannya, ia membayangkan
kembali semua pertandingan yang sudah dia lewati di Formula One, mulai dari GP
Australia sampai GP Jerman. Kembali mengingat betapa ramainya saat itu ketika
warga Indonesia mendukung Rio dengan bangga. Rio Haryanto bertanya kepada
dirinya. Jika kesempatan itu bisa
kembali diambilnya, apa yang akan terjadi? Jika saat itu dia masih menancap gas
di mobil balapnya, apa yang akan terjadi? Dan jika Pertamina melembutkan hati
dan tidak berhenti memberi dana kepadanya, apakah semua akan berubah? Apakah
dia tidak akan berada di kantor ayahnya melainkan berlaga di sirkuit tempat
tercintanya?
Jika waktu itu Rio
masih dibela Pertamina, dia akan berusaha mengejar ketertinggalannya. Dulu dia
pernah menjadi yang pertama dan menjuari banyak kompetisi, itu yang akan dia
buktikan. Urutannya tidak akan menjadi nomor buncit lagi. Rio akan melesat
lebih cepat, berlatih lebih giat, dan berjuang lebih gigih.
Potensi Rio Haryanto
akan disaksikan oleh seluruh Indonesia dan seluruh dunia. Perjuangan Rio akan
dihargai dan di elu – elukan. Ketika Manor Racing bubar, karir Rio tidak akan
berhenti begitu saja. Melihat kekuatan dan perjuangannya dan kegigihannya untuk
menang, pastinya aka nada tim lain yang mau merekrut Rio dan memberinya mobil
yang lebih lincah dan kuat untuk mendukung karirnya. Rio akan menjadi pahlawan
kebanggan Indonesia yang mengharumkan nama negaranya. Bendera merah putih tidak
hanya akan dikibarkan dari
Sabang – Merauke saja,
melainkan juga berkibar kencang di setiap negara yang didatangi Rio Haryanto.
Seluruh masyarakat Indonesia akan
menjadi saksi sejarah menyambut Rio ketika ia
pulang ke Indonesia dengan membawa piala kemenangan.
Semua media akan meliput Rio selama bertahun – tahun menjadikkannya news value berharga yang tidak akan pernah
habis dibahas. Rio
Haryanto akan melaju sampai waktu menyuruhnya berhenti. Berkat kecintaannya,
Rio akan berhenti membalap ketika ia sudah merasa cukup, ketika semua sudah
baik – baik saja. Ketika Rio merasa semua sudah lebih dari cukup. Kemudian dia
akan berhenti saat itu.
Tapi tidak sekarang.
Jauh di dalam lubuk hatinya dia tidak ingin berhenti. Namun realitas mengatakan
yang lain. Rio Haryanto sekarang hanya terduduk di kursi di kantor, bukan kursi
di mobilnya. Nyatanya Pertamina tidak lagi membiayainya, dia tidak lagi berada
di dunia balap, dan
Rio bukan siapa – siapa sekarang. Nomor
88 itu sekarang hanya sekedar merupakan nomor biasa saja atau mungkin kadang
sebagai pengingat kegagalan seorang Rio Haryanto di tengah jalan.
Comments
Post a Comment